Thursday, November 24, 2011

Boedi Ismanto SA

SEMUT-SEMUT

bukan saja untuk tetap menjaga kekeluargaan,
berhenti sejenaknya semut setiap berpapasan -
mengabarkan kebaikan berbagi.

RAMA-RAMA

tahu, bukan, nama alias kupu-kupu? rama-rama.
sekali pun beda huruf-hurufnya - tetap terbaca,
terdengar kelembutannya.

CAPUNG-CAPUNG

capung sangat mencintai sayapnya.
sebab menjaganya bahkan dalam tidur lelapnya.
terentang, terbang tiap datang penggoda.

BELALANG-BELALANG

apa betul, belalang merusak pohon dan tanaman?
padahal, tak makan sampai akar-akarnya,
seperti para manusia menelannya.

IKAN-IKAN

jam berapakah ikan tidur. mata tak pernah pejam,
bahagia sekali menikmati dunianya.
sayang berakhir pada kail pada jala.

(Yogyakarta, 251111)
MENDENGAR PAGI

tak jelas benar apa yang kudengar setiap pagi. tapi yakin
ayat-ayat suci. tak putus dibaca, seperti juga di belahan lain dunia.

(Yogyakarta, 211111)
KUPU-KUPU

Aku banyak belajar kehalusan dan kelembutan dari kupu-kupu.
Tapi aku rasa aku tak mampu. Ia begitu halus dan lembut
apalagi bisa terbang, sedang aku tetap kasar dan tak santun.
Selain hanya dapat berjalan kaki.

Aku pun belajar dan ia mengajar keindahan yang juga kusuka.
Dengan kelemah gemulaian sayapnya ia ternyata senantiasa
berhasil mencapai tujuan. Menemukan bunga-bunga manis
di taman bahkan di hutan.

Tapi aku tak putus asa. Terus mencari tahu agar hati
yang mengatur semua gerak berubah dan tunduk
kepada kehendak ilahiyah. Pasrah dalam hidup dan kehidupan,
untuk dibentuk sesuai kejadian. Menerima apa adanya
dan bersyukur atas anugrah pemberian Tuhan.

Betapa sakit berontak dan melawan keadaan. Memeranginya
habis-habisan namun lebih sering kalah dan tidak berdaya.
Ketimbang tampil sebagai pemenangnya tiap kapan dan dimana.

Kupu-kupu teruji sejak menjadi telur, ulat dan kepompong.
Bermalam bersiang bolong.

(Yogyakarta, 151111)
KAWAN YANTO

Yanto bisa juga menangis meski tidak bersuara. Ia, tetangga satu RW beda RT di perumahan, yang juga saudagar cukup besar di pasar, kemarin-kemarin malam berujar: Pedagang-pedagang kecil di kanan kirinya, tidak setiap hari mendapat untung dari hasil penjualan barang-barangnya. Sejak sebelum subuh hingga menjelang senja. Terkadang atau bahkan sering, apa yang dibawanya harus laku hari itu. Betapa pun merugi. Agar bisa kulakan esok hari dan tidak membawa pulang dagangannya kembali.

"Mengenaskan sekali, Pak," katanya, "Itu belum termasuk macam-macam retribusi juga pungli. Baik dari preman berseragam atau pun preman-preman sangar dengan dalih untuk kontribusi kota selain keamanan pula.

Terang saja, mereka hidup dari hutang ke hutang rentenir yang menawarkan pinjaman disitu. Makanya alangkah muak saya setiap kali lihat Menteri ketawa ketiwi di televisi. Dan tak bisa bayangkan bagaimana mereka di akhirat nanti."

(Yogyakarta, 81111)
RINDUMU

Apa sebenarnya rindu. Apakah sejenis penyakit menahun
yang sangat mengganggu ketika kambuh dan sangat
merisaukan hatimu. Atau siklus demam yang ketika kemarau
berlalu dan penghujan menggantikannya kau ambruk
diatas pembaringan dengan segenap rasa ngilu. Lalu mulai suka
mengigau dan ngomong sendiri disitu?

Rindu yang masih kerabat cinta memang tak jarang tanpak aneh
apalagi malam hari. Ia sering berulah mengajak terbang
padahal kita tidak bersayap. Ia pun kadang bikin mabuk kepayang.
Mencekoki kita berbotol-botol kenang. Meminta kita menjadi ikan
dan berenang dan menyelam padahal kita tidak berinsnang.

Siapa pula sebenarnya rindu. Rindu ialah orang gila yang kau tiru.
Bugil di jalanan dan berteriak tanpa malu memanggil-manggil
jiwanya yang kosong dan terbuang. Terseok-seok menapaki
tiap jengkal masa lalu, yang takkan pernah bisa kembali
sebab yang kau rindu, adalah dirimu yang kesepian dan terlupakan.

(Yogyakarta, 71111)

SAJAK PERPISAHAN - Puisi Erick Indranatan

Kita dengar denting suara senja dan gugur malam ke daun daun
Kita dengar lagu kabut di bukit cemara
Kita dengar seruling duka gembala di padang
ketika rumput telah bersih dari bianglala
kembali tenggelam ke biru gelombang laut yang jauh
mengembara menampakkan cakrawala.
Lalu malam. Rawan memperbahasa. Kita berdua
Masing-masing menatap cahaya bintang
Hanya bintang itu saja, kekasihku, mahligai yang tersempurnakan
oleh tangismu. Dan angin yang lewat
Mencatat. Dan kunang-kunang berangkat
Menghindarkan saat senyap
Lalu kita ucapkan selamat tinggal.

Yogyakarta, 1974
KETIKA SUNYI KEMBALI

Ketika sunyi datang kembali, entah dari mana ia
selama ini - tapi kehadirannya sangat terasa
di dalam hati, aku, hanya diminta mendengar suaranya.
Katanya supaya aku tak lagi pernah lupa padanya,
karena ia akan selalu menjumpaiku dan mengingatkan -
kapan dan dimana.

Suara sunyi tak lain suara hati. Gampang hilang
sebab kalah keras dengan suara mulut, suara tenggorokan,
suara dada bahkan suara perut sekali pun. Yang sering
nyaring bunyinya.

Lagipula suara hati toh memang tak terekam panca indera.
Lantaran ia yang ke enam dan sulit diputar ulang. Ia lirih
setelah kota-kota kian bising dan berebut menelan
mentah-mentah manusia. Dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Ia rendah di telinga yang sekarang maunya menangkap apa saja
meski sayang tak mampu menyaringnya.

Ketika sunyi datang kembali, camkan. Bahwa kejujuran tidak bisa
berbohong dan hanya berbisik untuk kemanusiaan yang bukan main
berisik dan sok pelik.

(Yogyakarta, 21111)
 
 

No comments:

Post a Comment